Sarapan atau makan dengan roti panggang atau ngemil biskuit saat istirahat memang praktis dan cepat. Jenis makanan ini juga memiliki variasi rasa sesuai selera. Namun, sadarkah kita bahwa kebiasaan mengonsumsi makanan olahan tepung secara berlebihan dapat membawa dampak serius bagi kesehatan?
Roti, mie, sereal, biskuit, dan makanan olahan tepung lainnya memang bisa menjadi penunda lapar yang efektif. Namun, di balik kepraktisannya, makanan ini menyimpan risiko kesehatan yang tidak boleh diabaikan.
Sebagian besar tepung yang digunakan dalam makanan kemasan termasuk kategori karbohidrat rafinasi - yaitu karbohidrat yang telah kehilangan nutrisi alaminya akibat proses pengolahan yang berlebihan. Proses pemurnian ini membuang serat, vitamin, dan mineral penting, dan hanya menyisakan karbohidrat sederhana yang cepat diserap tubuh.
Pernahkah merasa lapar lagi hanya sejam setelah makan roti-rotian? Ini bukan kebetulan. Makanan olahan tepung memiliki indeks glikemik tinggi yang menyebabkan gula darah naik dengan cepat. Tubuh merespons dengan melepaskan insulin dalam jumlah besar untuk menurunkan kadar gula darah.
Akibatnya, gula darah turun drastis dan memicu rasa lapar yang sangat kuat. Inilah mengapa kita sering merasa lapar lagi tidak lama setelah mengonsumsi makanan olahan tepung. Kondisi ini menciptakan siklus makan berlebihan yang sulit diputus.
Jadi, apa saja yang terjadi jika kita mengonsumsi tepung secara berlebihan? Dampak kesehatannya cukup berisiko:
Bagaimana kita dapat #KurangiRisiko di atas?
Pertama-tama, kita bisa mengganti konsumsi roti putih dengan roti gandum atau jenis tepung lain seperti tepung almond, oats dan juga mengganti mie instan dengan mie shirataki. Kita juga dapat mempraktikkan pengendalian diri dan porsi dengan mengonsumsi makanan olahan tepung hanya sebatas 2 atau 3 kali per minggu dengan porsi yang kecil saja.
Tambahan protein seperti telur dan daging serta serat seperti sayuran secara bersamaan saat mengonsumsi makanan olahan tepung juga dapat membantu #KurangiRisiko, selain kombinasi makanan lemak sehat seperti alpukat atau kacang-kacangan. Baca label makanan secara lebih cermat dan hindari makanan dengan produk tepung putih atau refined flour sebagai bahan utama. Jangan terjebak nama lain tepung rafinasi seperti “enriched flour” atau “wheat flour”.
Alternatif lebih sehat juga relatif mudah didapatkan, Sobat #SadarRisiko. Sayuran, buah dan kacang- kacangan bisa menjadi alternatif untuk roti, mie, dan biskuit. Ditambah lagi, perbanyak meminum air putih, agar membantu pencernaan kita secara keseluruhan.
Mengurangi konsumsi olahan tepung tidak harus dilakukan secara drastis. Mulailah dengan langkah kecil seperti mengganti cemilan biskuit dengan buah-buahan, mengonsumsi oatmeal untuk mengganti sereal manis, mengurangi frekuensi makan mie dan mencoba kue dan kudapan dengan tepung alternatif.
Jika ingin membuat perubahan signifikan pada pola makan, Sobat #SadarRisiko juga bisa konsultasikan lebih lanjut dengan ahli gizi atau dokter yang dapat memberikan panduan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi Kesehatan kita.
Makanan olahan tepung memang praktis dan lezat, namun konsumsi berlebihan dapat membawa risiko serius bagi kesehatan. Dengan menjadi lebih #SadarRisiko dan menerapkan strategi #KurangiRisiko yang tepat, kita dapat menikmati makanan favorit tanpa mengorbankan kesehatan jangka panjang.
Kunci utama adalah keseimbangan. Tidak perlu menghindari tepung sepenuhnya, namun bijaklah dalam memilih jenis dan jumlah konsumsi. Prioritaskan makanan utuh yang kaya nutrisi dan jadikan olahan tepung sebagai bagian kecil dari pola makan sehat kita.
Mari bersama-sama menjadi lebih #SadarRisiko dan #KurangiRisiko untuk hidup yang lebih sehat!
#MASINDO #SadarRisiko #KurangiRisiko
Bagikan artikel ini kepada keluarga dan teman agar mereka juga bisa menjadi lebih #SadarRisiko terhadap bahaya konsumsi olahan tepung yang berlebihan!
Sobat #SadarRisiko pernah dengar olahraga padel? Padel adalah perpaduan antara tenis dan squash yang mudah dimainkan, menyenangkan, dan punya sisi sosial yang kuat. Tak heran, padel makin popular di berbagai negara – termasuk di Indonesia, karena bisa melatih fisik sambil bersosialisasi dengan cara yang unik dan mengasyikkan.
Sobat MASINDO, prevalensi perokok dewasa di Indonesia terus menjadi isu kesehatan yang menjadi sorotan. Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang dalam sepuluh tahun terakhir, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021.
Minimnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap risiko di sekitarnya dan cara menanggulanginya mendorong terbentuknya Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO)